Monday, November 28, 2011

JILBAB PENDEKAR

     Aku merasa angkot putih C10 ini jalan begitu lambat, lebih lambat dari jalannya siput. Dari tadi kok masih di pertigaan Jambu melulu!


     Kupandang lelaki yang duduk persis di hadapanku. Setengah baya tapi gaya metalnya mirip si Jacky, anak Punk di daerah rumahku. Hus, Aku istighfar dan buru-buru menundukkan pandangan. Tapi mata lelaki berkumis tipis itu kurasakan terus melekat menatapku. Hiiiii, Aku semakin menunduk dalam.

     Di sebelahku duduk wanita ber-you can see everything-ria. Dandanannya yang menor membuatku sedikit silau dan membuatku hampir ingin tertawa, namun kuurungkan niat itu. Apalagi wanita tersebut memandangku tak berkedip. Kesannya memelototiku dari ujung jilbab sampai ujung kaos kaki. Aku segera berpaling.

"Abang, maaf yaaa ..... jalannya bisa cepat sedikit nggak?" tanyaku pelan pada Sopir angkot. "Orangtua Saya di rumah nungguin."
"Neng, ini mah mobil tua. Sabar atuh Neng, yang penting nyampe dengan selamat." jawab Sopir sekenanya.

     Ibu setengah baya yang duduk persis di depan wanita ber-you can see-ria tadi tersenyum kepadaku. Gelang tangannya bergemerincing ketika ia menggerak-gerakkan tangan seraya menyuruhku sabar dengan dialek Sunda yang sangat kental. "Karunya pisan. Makanya Neng, kalau mau pergi kudu bilang dulu ka orangtua!" nasehatnya lagi, seolah mengerti keresahanku.

Aku cengengesan, manggut-manggut.
Pria berkumis tipis dan wanita ber-you can see-ria pun manggut-manggut.

     Jam di tanganku menunjukkan pukul 21:22. Aku baru saja pulang menjenguk teman yang sedang sakit. Berangkatnya sih rame-rame, tapi karna beda arah tujuan, jadilah Aku pulangnya seorang diri. Dan entah kenapa malam ini jalanan terlihat sepi, biasanya daerah ini terkenal macet dan ramai.

      Tiba-tiba kudengar suara keras membentak sopir. Belum sempat kusadari apa yang terjadi, wanita ber-you can see-ria di sampingku telah mengeluarkan pisau dari dalam tasnya!
Sesaat Aku bergidik! Terperangah! AstaghfirullaaH...! Rampok...!
Mata wanita berbelati itu memandangiku, pria metal berkumis, dan Ibu 'gemerincing' di depannya. Dia tidak beraksi sendiri rupanya! Lelaki yang sedari tadi duduk di samping Sopir, ternyata temannya. Kini lelaki itupun tengah menodongkan belatinya ke leher Sopir. Sementara Sopir dengan gemetar dan pasrah menyerahkan uang setoran yang didapatnya sejak tadi pagi.

"Cepat!!!" bentak lelaki itu galak. "Mau saya gores muka kamu pake belati ini, hah!?"
"Serahkan emas Ibu, buruan!" titah wanita perampok itu.
Ibu yang memang gemerlap itu segera melucuti perhiasannya sendiri. Badannya gemetar. Wajahnya merah. Sesak mau nangis.
"Neng, ini...jangan...diam...bil yaa....., ini teh cincin kawin saya," kata Ibu itu ketakutan.
Wanita perampok itu melotot dan merampas cincin yang berusaha dipertahankan si Ibu itu.
"Dompet! Dompet! Semua keluarin dompet! Hayo cepat!"
Lelaki metal berkumis buru-buru menyerahkan dompetnya pada wanita itu sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
"Jam!" Sekali lagi lelaki itu buru-buru menyerahkan jamnya.
"Dasar lelaki! Gayanya aja metal, tapi pengecut," ledek wanita itu.
"Eh, kamu yang berjilbab! Jangan tenang-tenang aja. Dompet dan jam tangan! Saya tidak takut kualat sama kamu! Ayo serahkan"
Aku diam saja, melihat wajah wanita perampok itu.

      Tiba-tiba lelaki metal berkumis tipis itu, yang memang duduk di dekat pintu bergerak cepat. Bukan, bukan menolong! Ia kabur! Ngibrit!
"Eeeh, saya kejar kamu, baru tau rasa yaa!!!" kata wanita itu. Aku berharap bang Sopir buru-buru tancap gas tapi ..... ternyata tidak! Kini wanita itu duduk maju di dekatku sambil mengawasi Sopir dari belakang. Sekali lagi wanita itu membentakku, Ibu yang baru saja dilucuti tiba-tiba pingsan.
"Heh, kamu budeg yaa!!?"
"AstaghfirullaaH... nyebut,Mbak... Tobat..." kataku pelan.
Dia malah terkekeh dan mendekatkan lagi pisaunya ke wajahku. "Saya bikin bopeng... nyaho kamu!!"
"Nih ambil, Saya ikhlas. Itung-itung sedekah!" ujarku sambil melemparkan dompet tiba-tiba padanya.

     Wanita itu sibuk mengambil dompetku yang jatuh ke bawah jok tempat kami duduk. Secepat kilat satu pukulanku mengenai punggungnya, kemudian tangan kirinya kupelintir ke belakang! Ia berteriak panik! Berusaha meraih pisaunya yang terjatuh. Kurebut pisau itu! Kini Aku balik menyorongkan pisau itu ke wajahnya. "Belum tau dia, sewaktu SD, Aku ini jagonya Tapak Suci, sejenis Karate" ungkapku bangga di dalam hati.
"A...ad...duuuuuuh.. Mamiiiiii...."
"Jangan bergerak kalau kamu ngga mau lihat perempuan ini mati!" kataku pada lelaki di samping bang Sopir yang ikutan panik melihat pukulan Karateku melumpuhkan teman wanita si perampok.
"Neng nyandera dia, saya nyandera bang Sopir!" kata lelaki itu akhirnya. Pisaunya kini ada di leher sang Sopir.
"Neng, aduh tobat abang mah! Lepasin aja... Anak abang banyak,Neng! Uang mah nggak ada artinya,Neng!" rajuk bang Sopir padaku hampir menangis.
Aku bingung. Gimana nih? Sementara 'sandera'ku terus berontak. Akhirnya langkahku selanjutnya adalah mengambil kembali semua barang yang tadi telah diambil wanita perampok itu, tanpa bisa mencegah.
"Lepaskan teman saya!" pinta lelaki perampok itu.
"Lepaskan dulu bang Sopir! Tolooooooooooonggg......!" teriakku sekuat tenaga.
Lelaki perampok itu jadi kalap. Secepat kilat ia berpindah ke belakang dan berusaha menyerangku. Aku menendangnya sambil terus menyadera teman wanitanya dan berteriak minta tolong.
"Bang, jalanin mobilnya,Bang! Bang, jalanin mobilnyaaaaa!" teriakku pada bang Sopir
"A.....bang le....mas se...kali.... Deg-degan,Neng...!" (Deuuu...)

     Sekuat tenaga kutendang lelaki perampok itu. Ia jatuh keluar mobil. Teman wanitanya kuseret pindah ke depan. Kuperintahkan Sopir pindah ke belakang. Ia panik! Kuacungkan pisau, baru si bang Sopir bergerak! (Hehheee, maaf yaa bang :D)
     Lelaki perampok itu menyerangku dengan belati. Beberapa kali tendangan tapak harimau mengaum dan tendangan macan menyapu anginku membuatnya berteriak kesakitan. "Jangan dikira pakai rok panjang nggak bisa nendang yaa," teriakku padanya. Aku memang jika ke mana-mana selalu memakai rok panjang dan celana panjang di dalamnya.
    Lelaki perampok itu terus mendesakku. "Breeeett!" belatinya mengenai teman wanitanya sendiri. Lelaki itu terkejut! Sekuat tenaga kudorong tubuh wanita itu hingga menabrak lelaki perampok itu. Aku segera masuk ke dalam mobil dan berusaha menghidupkan mesin. Lelaki itu mengejarku, berusaha masuk ke dalam mobil juga. Kubanting pintu mobil, dan tangannya terjepit.
Akhirnya mesin hidup juga! Aku segera tancap gas, berlalu dari situ. Lelaki itu berusaha mengejarku, namun gagal para pembaca, hehheeeee..

      AlhamdulillaaH! Kutarik nafas lega. Kulirik lengan bajuku yang sobek dan luka belati memanjang di tanganku. Aku terus mengemudikan mobil dengan kencang.
"Neng....," suara bang Sopir lirih. "Teri...ma...kasih..."
"Bersyukur pada AllaH swt,Bang! Ini!" kataku sambil melemparkan padanya tas berisi uang setorannya yang berhasil kurampas kembali.
"Oh...oh, kumaha? Di...mana abdi teh?" kata Ibu gemerincing yang sudah siuman.
"Kita ke kantor polisi dekat Superindo,Bu!" kataku.
Ibu itu terkejut. "Rampoknya ke mana? Lho... Bang, kok jadi eta budak yang nyetir...aduh..."
"Tenang,Bu. Biar saya belum punya SIM, saya biasa latihan bawa mobil punya om saya," balasku tersenyum.
"O....ow! AstaghfirullaaH! Kulirik jam di tanganku! Aduh Abah, Ummi, ka Fauzi, dan Alma ...... Jam setengah dua belas." HP-ku lowbat di dalam tas.

***

     Pak Polisi di depanku (yang pada pakaian dinasnya bertuliskan FAHMI ALI)  itu memandangku aneh. Ia tersenyum-senyum, manggut-manggut mendengar cerita bang Sopir yang lugu dan cerita si Ibu yang nggak mengaku kalau dia pingsan di jalan. Aku diam saja. Aku cuma ingin cepat pulang.
"Adik ini ikut bela diri?" tanya polisi yang lain.
"Dulu pak, waktu SD." jawabku pendek.
"Apa?" tanyanya lagi.
"Tapak Suci." jawabku.
"Sabuk apa?" 
"Hitam."
"Latihannya di mana? Pelatihnya siapa? Aduh, kamu ini sudah manis, alim ...."
"Aduh, pak polisi ini gimana sih. Saya sudah ceritakan semua ke Bapak. Abang Sopir juga. Ibu Rosa (nama Ibu yang pingsan tadi) juga. Saya mau pulang. Kasihan orangtua saya,Pak." pintaku setengah memaksa.

    Dengan ramah akhirnya pak Polisi bersedia mengantarku pulang. Eh, si Ibu Rosa juga katanya mau tau rumahku, jadi ikut juga mengantarku. Heran...

***

"Kamu ini keterlaluan! Si Ummi dari tadi udah nangis mikirin kamu!" suara Abah. "Pulang-pulang bawa Polisi... Memangnya kesasar gitu?
Ummi memelukku. Adikku ALMA cemberut. Rupanya ka FAUZI  belum pulang, dia masih 'gerilya' mencariku.

     Beberapa Polisi yang mengantarku menceritakan apa yang terjadi. Ummi menutup mulut Beliau yang ternganga dengan kedua telapak tangan. Abah melotot nggak percaya. Aku menguap, ngantuk.
"Aduh,UCI... Kalau kamu tadi mati gimana!?" seru Ummi.
"Syahid, insyaAllaH,Mi.."
"Kamu ini!" timpal Abah.
"Abah, kalau Uci nggak punya bekal sedikit juga Uci mikir," kataku lagi.
"Sebentar,Pak..." pak Fahmi rupanya menerima pesan dari radio tugasnya. "Ya,ya... kami segera ke sana."
"Ada apa,Pak?" tanya Abah.
"Dua penjahat itu sudah tertangkap,Pak. Dengan bantuan informasi dari seorang tukang ojeg," kata pak Fahmi.
"Ini kasus besar neng Uci, karena kedua perampok itu memang sedang jadi tawanan kami. Mereka sering melakukan perampokan di angkot ketika suasana jalan sedang sepi."
Aku diam saja, mengantuk.

***

      Aku baru saja selesai shalat Dhuha, ketika kudengar suasana yang lumayan ramai di ruang tamu. Beberapa kali kudengar namaku disebut-sebut. Kukenakan jilbab dan kaos kaki. Aku bergegas keluar. Lho? Ada sekitar lima orang lelaki dan seorang wanita. Mereka sibuk mengajak ngomong Abah dan Ummi. Aku baru saja mau masuk ke dalam kamar dan meneruskan tidurku, ketika Abah memanggilku.

"Uci, itu tuh ada banyak wartawan!" kata Abah.
 "Apa,Bah? Wartawan?" tanyaku bingung.
"Maksa mau ngomong sama kamu." jelas Abah.
"Soal yang kemarin," timpal Ummi. "Ingat, jangan mau difoto! Nanti kalo ada penjahat yang keki, kamu bisa diudag-udag," kata Ummi mewanti-wanti.

Aku menghampiri para kuli tinta yang bersemangat itu.
"Jadi kamu yang nangkep para perampok itu?"
"Waktu itu kamu dari mana?"
"Kamu sekolah di mana?"
"Saya dari majalah Annuda, mau minta kamu jadi cover majalah bulan ini, boleh?"
"Sejak kapan kamu berjilbab?"
"Saya ingin kamu ceritakan saat kejadian kemarin dengan rinci!"

AstaghfirullaaH..., ini apa-apaan.... (gumamku dalam hati)

"Bagaimana,neng Uci?"
"Kejadian itu cuma kebetulan kok. Semua itu karena kekuasaan AllaH swt. Saya bisa apa sih? Saya mah cuma orang biasa, malu saya, nggak mau masuk koran ataupun majalah." kataku terus terang.
"Tapi kamu begitu berani."
"Pakai jilbab, bela dirinya juga canggih... hebring deh!"

     AstaghfirullaaH, Aku jadi sebel. Namun akhirnya kujawab pertanyaan-pertanyaan mereka sekenanya, dan segera berlalu dari ruang tamu. Na'uudzubillaaH, pujian mereka itu terlalu berlebihan. Aku jadi ngeri, berulang kali Aku beristighfar.

***

     Koran pagi dan koran sore ini banyak memuat berita kejadian yang kualami. Judul beritanya nyentrik-nyentrik:
  • GADIS BERJILBAB MENGGAGALKAN PERAMPOKAN
  • UCI, PAHLAWAN BERJILBAB KITA
  • KARTO DAN SUKMINI KEPALA JEGGER PERAMPOK TERTANGKAP ATAS JASA GADIS BERJILBAB
  • UCI, 17 TAHUN, PENDEKAR BERJILBAB
Aku bengong!

***

     Tulisan ini terinspirasi dari karya mba HELVY TIANA ROSA yang berjudul sama yaitu "JILBAB PENDEKAR" yang berada di dalam buku 'Ketika Mas Gagah Pergi, dan ..... Kembali'

     Tetapi Aku mengadakan sedikit perubahan pada nama tokoh dan alur ceritanya. Yang pasti semoga pesan yang terdapat dalam cerita ini dapat ditangkap oleh para pembaca.





in My Bedroom
28 November 2011, 3:15pm



with Love,
_Fichri MauLida_

No comments:

Post a Comment